si kepik bingkie

Selasa, Mei 30, 2006

biarkan ia kembali

Selalu ada yang menggugah jiwa, saat tulisan ini dibaca.

Tulisan dibawah adalah tulisan dari Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya “Membuka Jalan ke Surga”. Saya tulis ulang dan pernah saya posting di milis PesantrenEYI@yahoogroups.com (23 Desember 2004) saat seorang sahabat kehilangan ayahandanya tercinta.

Hari ini, kembali saya posting, karena mendengar seorang kawan telah kehilangan calon jabang bayinya.

Semoga ada hikmah yang bisa kita ambil dari tulisan sederhana ini, dan semoga bertambah keikhlasan kita dalam menjalankan kehidupan –apapun yang Allah gariskan buat kita–, sebelum saatnya tiba, kita pun memenuhi panggilan-Nya. Amin.

Sesungguhnya Kami menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada Kami-lah tempat kembali (semua makhluk). (Q.S. Qaaf [50] : 43)

* * * * * * *

Biarkan Ia Kembali (Mohammad Fauzil Adhim)

SETIAP YANG BERJIWA akan berjalan menuju satu titik perhentian. Kalau masa itu telah sampai, semuanya akan tunduk menerima takdir. Masing-masing kita akan memenuhi panggilan-Nya. Tiap-tiap jiwa akan datang memenuhi sesuai dengan garis waktu yang telah ditentukan-Nya.

Kematian bukanlah tragedi. Kematian juga bukan malapetaka, karena setiap kita pasti akan mengalaminya. Tak ada yang memilukan dengan kematian jika ia datang di saat kita berserah diri kepada-Nya, dan Allah berkenan memanggil kita dengan seruan-Nya yang mesra, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam (barisan) hamba-Ku dan masuklah ke dalam Surga-Ku,” (QS al-Fajr [89]: 27-30).

Kadang kematian berarti kasih-sayang Allah atas hamba-hamba-Nya. Ia memanggil anak-anak kita ketika mereka belum dapat dimintai pertanggung-jawaban. Mereka inilah yang pasti akan menghuni surga. Mereka inilah yang dapat mengantarkan ke pintu surga dengan lebih mudah, ketika masa itu tiba. Mereka datang memenuhi panggilan-Nya tatkala tak ada dosa yang bisa dicatat, dan tak ada keburukan yang harus membebani.

Kalau kemudian ada airmata yang harus jatuh, biarkanlah ia menghangatkan jiwa kita. Semoga titik airmata itu dapat menjadi pengingat untuk menata hidup yang lebih baik. Semoga pula titik airmata itu menyuburkan keikhlasan hati kita untuk mengimani-Nya dengan lebih tulus, menyembah-Nya dengan lebih khusyuk dan menyisihkan harta kita untuk kita sampaikan kepada hamba-hamba-Nya yang membutuhkan dengan niatan yang lebih jernih.

Tak ada yang salah dengan airmata karena ditinggal mati oleh buah hati kita. Abu Mas’ud al-Anshari dan Qarazah bin Ka’ab pernah berkata, “Rasulullah saw. membolehkan kami menangis ketika ditimpa musibah asalkan tidak disertai dengan ratapan,” (HR Ibu Abi Syaibah dan Thabrani, disahihkan oleh al-Hakim).

Ya, jiwa yang bersih pun akan pernah merasakan sedih. Tak ada yang dapat memberi ketentraman jiwa kecuali kesadaran bahwa semua milik Allah, dan Ia akan mengambil kembali milik-Nya. Sewaktu-waktu. Sesungguhnya, semua berasal dari Allah dan kepada-Nya semua akan kembali.

Berkenaan dengan kepergian seorang buah hati, teringatlah saya kepada Ummu Sulaim. Perempuan mulia ini disebut-sebut namanya karena peristiwa yang berkait dengan kematian anaknya. Ketika itu suaminya –Abu Thalhah– sedang tidak ada di rumah. Mendapati anaknya meninggal, Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, “Janganlah kalian ceritakan kepada Abu Thalhah perihal anaknya. Biarkan aku sendiri yang akan bercerita kepadanya.”

Ketika Abu Thalhah datang, begitu Anas ra. bercerita, Ummu Sulaim menghidangkan santap malam kepadanya. Setelah Abu Thalhah puas makan dan minum, Ummu Sulaim pergi ke kamar untuk berhias secantik mungkin sehingga bangkitlah hasrat Abu Thalhah.

Sesudah terpenuhi apa yang menjadi keinginan Abu Thalhah, Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana menurutmu jika ada satu kaum meminjamkan barangnya kepada suatu keluarga, kemudian mereka meminta kembali barang yang dipinjamkan tersebut, apakah keluarga tersebut berhak menolaknya?”

“Tidak,” jawab Abu Thalhah.

“Kalau begitu,” kata Ummu Sulaim, “tabahkanlah hatimu dengan kematian anakmu.”

Mendengar penuturan Ummu Sulaim, Abu Thalhah marah. Kata Abu Thalhah, “Kamu biarkan aku menikmati pelayananmu, kemudian baru kamu beritahukan kepadaku tentang anakku.”

Abu Thalhah bergegas pergi menemui Rasulullah saw. dan menceritakan apa yang telah terjadi. Rasulullah saw bersabda, “Mudah-mudahan Allah memberi barakah pada malam yang telah kalian lewati dengan manis itu.”

Benar. Allah memberi barakah pada malam yang telah mereka lewati. Allah beri barakah pada keikhlasan hati Ummu Sulaim. Kepada mereka, kelak Allah beri keturunan yang bernama Abdullah dengan segala keutamaannya. Berbekal kesabaran dan ketabahan jiwa, Allah memberikan banyak keistimewaan padanya. Dia antaranya dituliskan oleh Abdul Halim Abu Syuqqa dalam Kebebasan Wanita.

Semoga yang telah pergi menjadi kebaikan bagi yang masih hidup. Semoga kita dapat mencapai titik keikhlasan dan kepasrahan kepada-Nya, ketika saat itu tiba.*

Label:

posted by si kepik bingkie at 14.11

<< Home