si kepik bingkie

Sabtu, Agustus 11, 2007

luka karena kata-kata

Beberapa hari lalu Bunda terima email Mutiara Hikmah dari seorang teman. Isinya bagus sekali….

* * * * * * * * * *

LUKA KARENA KATA-KATA

Suatu Ketika ada seseorang anak laki-laki yang mempunyai sifat pemarah. Ayahnya berusaha keras untuk membuang sifat keras itu. Suatu hari ia memangil anaknya dan memberikanya sekantong Paku. Paku? ya Paku! Sang anak heran Tapi bibir ayahnya justru membentuk senyum bijak. Ia berkata agar ia memakukan paku setiap ia marah di pagar belakang rumahnya. Ajaib! Dihari pertama sang anak menacapkan 48 paku! begitu selanjutnya. Setelah itu jumlah paku yang tertancap berkurang secara bertahap Ia menemukan fakta bahwa lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan paku ke pagar. Akhirnya, kesadaran itu mebuahkan hasil amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabaran. “Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku. Tapi lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah seperti sebelumnya. kata si ayah bijak. Sang ayah sengaja memotong kalimatnya pendek-pendek agar si anak bisa mencerna maksudnya dengan baik. Si anak menatap sang ayah dengan sikap menunggu, apa kelanjutan ujaran ayah itu. “Ketika kamu melontarkan sesuatu dalam kemarahan, kata-katamu itu meninggalkan bekas seperti di lobang di hati orang lain. Kamu dapat menusukkan pisau lalu mencabut pisau itu. Tetapi, tidak peduli beberapa kali kamu meminta maaf luka itu akan tetap membekas. Dan luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik.” ucap sang ayah lembut tapi sarat makna. Sang Anak membalas tatapan lembut ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Pelajaran yang diberikan ayahnya begitu tajam dan menghujam relung hati.

Label:

posted by si kepik bingkie at 07.02

Jumat, Agustus 10, 2007

iklan layanan masyarakat (2) dan sekolah baru


Elang_ilm Kalo Abang Nanda pernah difoto buat iklan layanan masyarakat pada majalah Progres edisi sebelumnya, maka di majalah yang sama edisi No. 3/Tahun I/Agustus 2007 giliran Mas Elang yang difoto untuk iklanan layanan masyarakat. Masih bertemakan “Bangkitlah Bangsaku”, gambar Mas Elang diambil oleh Om Endi di pinggiran got deket rumah hihihi…. Yang terasa ironis bagi Bunda adalah, foto tersebut diambil pada bulan Juli 2007, saat Mas Elang masih berstatus sebagai “murid” di SD yang lama.


Ya iyalah, per Agustus 2007, Mas Elang dan Abang Nanda udah pindah ke sekolah baru. Keputusan untuk memindahkan mereka memang sangat mendadak. Karena sesuatu hal, dalam waktu 1 hari, Bapak dan Bunda mengambil langkah yang super duper cepat, mencari sekolah baru buat anak-anak (dan Alhamdulillah di hari yang sama sudah positif diterima di sekolah baru), menghubungi orang2 yang perlu dihubungi di sekolah lama (memberi tau bahwa dua anak Bunda tersebut akan keluar dan minta “surat pindah“), dan di hari berikutnya…, pagi2 kita udah datang ke sekolah lama, ngeberesin administrasi yang perlu diselesaikan, pamitan sama wali kelas anak-anak (Ibu Ida dan Ibu Solichah) dan yang lain-lain (yang kebetulan ketemu). Agak siangan, Nenek dateng untuk ngambil surat pindah (nunggu tanda tangan Pak Kepala Sekolah yang rapat diluar dulu). Alhamdulillah, setelah Bunda tinggal ke kantor, siang itu juga Abang serta Mas udah belajar di sekolah baru. Subhanallah. Allahu Akbar.


Kilat ya? Alhamdulillah, Allah benar-benar memudahkan dan melapangkan semuanya bagi kami. Bagi Bunda, Bapak dan terutama kedua jagoan kami dalam menuntun pendidikan formal ini.


Ekstrim? Emang banget. Nggak sedikit teman-teman Bunda (wali murid lain), teman-teman Abang dan Mas Ang, Guru-guru, bahkan orang kantor Yayasan yang kebetulan kenal Bunda, terkejut dengan langkah kami. Bunda bilang “kami”, karena keputusan ini bukanlah keputusan Bunda sendiri yang mungkin saja “plin-plan”, “keputusan perempuan” atau apalah…. Tapi Bapak benar2 mantap waktu beliau bilang “Bunda, kita pindahin anak2…”. That’s the magic words!


Selama 10 tahun Bunda dan Bapak berumah tangga, Bunda merasakan betul, bahwa walaupun kami berdua jarang diskusi soal yang berat2 (lebih banyak ngobrolin yang nggak penting J…), tapi kami berdua sangat saling memahami. Subhanallah. Makanya, walopun Bapak jarang mengambil keputusan (dalam keseharian, lebih banyak Bunda yang “ngatur”), tapi saat Bunda membutuhkan Bapak untuk mengambil keputusan yang krusial, keputusan Bapak selalu menjadi “pemantapan” dan jawaban atas segala keraguan, kebimbangan dan “terlalu banyak pertimbangan”-nya Bunda.


Norak ya…. kadang bunda pikir “he is really my soulmate”… hihihihi, norak ga sih?


Flashback ke masa-masa Bunda akan menikah dengan Bapak, ada seorang teman -expat-, tanya ke Bunda, kenapa Bunda memutuskan akan menikah. (Nggak tau tuh maksudnya apa, mungkin saat itu dia liat Bunda belum kadaluwarsa untuk segera nikah :P secara deket sama calon suami juga belum lama-lama amat…). Waktu itu Bunda jawab, “Ya gimana ya, saya udah kenal keluarganya, dia juga kenal keluarga saya. Kami banyak mengalami kebersamaan dalam suka dan duka. Dia ada saat saya sulit, seperti waktu Kakek (dan tidak lama kemudian) Nenek saya meninggal (for info aja nih, Bunda deket banget ama Mbah Kakung dan Mbah Putri ini, they were just like my second parents to me. Khususnya, Mbah Kakung, yang sering mendeklarasikan dirinya as a “coach” to me…). Kami juga udah sering ketemuan, hampir tiap hari, pagi saya dianter, pulang sering dijemput. Kita nyaris selalu bersama. And the most of it, I think he’s part of me…… Jadi mo ngapain lagi? What’s next…. Nggak ada kan?”


That’s my answer. Dan temen Bunda itu sampe memandang bunda dengan pandangan yang gimana… gitu. Dia non muslim. Jadi mungkin nggak ngerti bahwa buat kita nikah adalah ibadah, menggenapkan separo iman.


Cinta? Kayanya itu bukan jawaban tepat mengapa Bunda sepakat dengan Bapak untuk memasuki jenjang pernikahan. Partner, teman dan sahabat. Bunda lebih butuh itu ketimbang segunung cinta dan segudang perhatian. I need a friend, a true friend, dalam suka atau duka, saat di jalan lapang dan gampang atau berbatu dan mendaki. And he always there for me… until today….. Subhanallah.


Halah, jadi ngelantur sentimentil gitu yak….


Balik ke soal sekolah anak-anak, Bunda banyak mendapat hikmah dan jawaban atas segala kebimbangan yang selama sering terlintas di benak.


Hikmah yang pertama: (1) lokasi sekolah yang dekat dari rumah, bisa dicapai dengan jalan kaki. Alhamdulillah, anak-anak jadi nggak capek di jalan. Selama ini kan sekolahnya jauh. Bunda juga perlu senewen lagi kalo anak-anak belum sampe dirumah, secara itu jalanan dari sekolah lama ke rumah lalu lintasnya rame ajah. Anak-anak juga punya waktu yang cukup buat menikmati masa-masa bermainnya.


Selain itu, kita juga bisa ngirit uang ojek hihihi…. Paling-paling kita perlu memberdayakan si mbak buat anter jemput. Alhamdulillah, sekarang Abang malah nggak perlu dijemput, dia bisa pulang sendiri. Sekali waktu, pernah juga Bapak ketiduran, sehingga Mas Ang nggak kejemput, eeh…. Mas Ang pulang sendiri jalan kaki. Subhanallah. (Catet nih: ini nggak mungkin dilakukan kalo Abang dan Mas Ang masih di sekolah lama).


(2) Paket ekonomis. Karena sekolah deket, kita nggak usah pake ojek. Kalo mau, anak-anak bisa pake sepedanya ke sekolahan. Juga masalah SPP, karena sekarang sekolahnya SD negeri, SPP (katanya) nggak bayar, karena ada dana BOS. (Bunda bilang “katanya” soalnya belum ada tagihan SPP nih… let see ya…). Yang kudu dibeli (baca: keluar duit) ya seragam dan beberapa buku sekolah. (Beberapa= karena ada juga buku yang dipinjamkan oleh sekolah, enak kan?).


Coba bandingkan dengan sekolah lama. SPP Rp 250ribu (2 anak= Rp 500.000), Ekskul Rp 25rb (2 anak= Rp 50.000), BP3 Rp 3rb (taun ajaran lalu 6500 per anak, kaliin 2 deh), Catering sekitar Rp 120ribu-130ribu (Rp 5500 per hari, x5 hari dalam seminggu, x4 minggu , x2 anak), Ojek sekitar Rp 150ribu (x2 anak= Rp 300.000). Kalo pake anter jemput, Abang dan Mas Ang dihitung Rp300rb pp per anak (x2 anak= Rp 600.000). Ini belum termasuk uang buku cetak. Waktu mau keluar di awal Agustus kemarin, kebetulan Abang & Mas Ang udah dapet buku cetak, dan sudah diberi nama. Jadi Bunda bayar bukunya Mas Ang Rp 370.500 (dari total tagihan buku Rp 426.500, yang belum dibagi Bunda nggak mau bayar dong….), dan buku Abang Rp 376.000 (dari total tagihan buku Rp 423.000. Untung ada 3 buku yang belum dibagi, jadi nggak Bunda bayar). Oh ya, untuk masuk SD sana pun Bunda harus bayar Rp 3.500.000 (karena berasal dari TK seyayasan). Kalo dari TK luar harus bayar uang masuk Rp 4.000.000. Semua itu belum termasuk SPP Juli dan uang buku. Untung nih, anak-anak udah keluar dari sana, jadi “down payment” uang pangkal bisa kita ambil sisanya setelah dikurangi uang buku dan seragam olah raga Mas Ang yang udah diambil.


Nah, silahkan kalkulasi berapa Bapak dan Bunda bisa ngirit untuk urusan bayar sekolah? Banyak! Jelas banyak, secara harga kebutuhan harian dan belanja bahan makanan (beras, telur ayam, minyak goreng, dll) meroket gila-gilaan.


Lebih 15 taun Bunda dan Bapak kerja dan selalu bayar pajak (gak pernah ngemplang!), boleh dong sekarang Bunda menikmati sekolah gratis J (yang sumber dananya antara lain dari pajak kita-kita juga….). Sayang, fasilitas kesehatan masih belum gratis atau subsidi ya L


(3) Karena kita memang nggak punya banyak pilihan, lantaran pindah sekolah di saat tahun ajaran baru saja dimulai, sehingga anak-anak hanya memungkinkan bersekolah di SD petang (yang faktanya bukan pilihan utama para orang tua, mereka lebih memilih menyekolahkan anaknnya di sekolah pagi), ternyata memberikan hikmah tersendiri buat anak-anak. (1) Abang yang memang susah bangun pagi, nggak perlu lagi di-omel2in karena nggak bisa melek pagi2. (2) Abang juga nggak perlu stress karena hampir tiap pagi terlambat, bukan cuma karena jarak yang jauh, jalanan yang kadang macet, juga karena di pagi hari Mas Ang hobi banget ber-lelet-ria saat sarapan dan berpakaian…. (3) Bunda nggak usah senewen, karena waktu sekolah pagi, nggak peduli seberapa sore Abang sampe rumah, kalo nggak dilarang Abang seneng banget main keluar rumah sampe maghrib. Ntar saat Bunda pulang, Abang masih dekil karena belom lama pulang main (kan mandi dulu baru main keluar), belom nyusun buku untuk esok hari, belum ngerjain PR. Bahkan kadang ada tugas yang aneh2. Gimana nggak aneh, sampe rumah aja udah sore banget. Eh, Abang pernah dapet tugas disuruh bawa pelepah pisang, dan kudu dibawa keesokan harinya. Can u imagine, dimana bisa dapet pelepah pisang malem2? Kita kan nggak tinggal di lingkungan yang masih banyak kobon pohon pisangnya. Pasar juga udah tutup. Emangnya ada supermarket yang jual pelepah pisang? Kadang tugas-tugasnya Abang kaya mission impossible. Kelasnya aja (waktu itu kelas 3), resminya selesai / keluar kelas jam 2.30. Dikasih tugas untuk esok harinya mebawa manik2 (untuk meronce). Halooooo…. mikirin nggak tuh, kalo kaya Abang yang Ibu-Bapaknya kerja, kapan sempet ke pasar? Alhamdulillah waktu itu Bunda bisa ngehubungin Nenek, jadilah si Nenek pontang-panting ke pasar Pondok Gede sore itu juga untuk beli manik2. Untung pasar belum tutup. Kesimpulannya: bukan cuma Abang aja yang capek (physically) sekolah di situ, sejujurnya, secara mental Bunda juga lelah…. Alhamdulillah semua episode itu sudah berlalu…. J (Lagian salah sendiri, maksa sekolah disitu, barangkali sekolah itu memang sedianya untuk orang2 yang rumahnya di sekitar situ doang, jadi nggak mempertimbangkan hal-hal yang bunda keluhkan diatas, iya nggak sih…. )


(4) Jawaban atas keragu-raguan Bunda selama ini. Sebetulnya sebelum taun ajaran baru dimulai, Bunda udah kepikiran untuk cari sekolah yang deket rumah buat Abang dan Mas. Kasian, selama ini sekolahnya jauh dan harus ngelewatin jalan raya. Bunda bahkan sempet minta tolong Nenek untuk cari informasi tes masuk dan pendaftaran SD Negeri percontohan deket rumah. Tapi karena berbagai pertimbangan (atau kebimbangan?), Bunda dan Bapak (saat itu) memutuskan untuk tetap menyekolahkan anak-anak di SD lama. Pertimbangannya antara lain: (1) kasian kalo Mas Ang harus duduk di kelas 1 yang isinya lebih dari 40 anak, nggak yakin Mas Ang bisa ‘kepegang’ di SD negeri, secara di SD swasta lama jumlah maks muridnya adalah 24-an (dulu Abang kelas 1, jumlah muridnya 24 kalo nggak salah. Taun ini di kelas 1nya Mas Ang 22 anak). (2) Jam belajar di SD negeri terlalu sedikit. Kelas 1 cuma sekitar 3 jam per hari, x6 hari seminggu. Di SD lama Mas Ang, masuk jam 7 pulang jam 1.30, Sabtu libur. (3) Materi agama Islam di SD Negeri cuma 2 jam pelajaran dalam 1 minggu. Di SD lama, selain materi agama Islam (seperti yang di SDN), ada materi madrasahnya. Bahkan di kelas 4 Abang udah dapat pelajaran Bahasa Arab. (4) Kalo ada apa-apa, deket sama ruma Oma (walopun nggak deket-deket amat, harus naik angkot dan nyebrang jalan raya).


Bukannya Bunda lupa, bahwa Bunda dulu juga sekolah di sekolah negeri, sejak SD sampe SLTA. Bukan Bunda lupa, bahwa sekolah di negeri, kita punya banyak kesempatan ‘main’ dan mengeksplor hobi, bukan hanya berkutat di sekolah atau PR dan buku pelajaran. Bukan Bunda lupa, bahwa enak banget sekolah di negeri, karena kalo kita potensial, akan banyak kesempatan untuk diikutkan dalam lomba atau olimpiade bidang studi. Jelek-jelek gini, Bunda pernah di-ikutin lomba nyanyi dan siswa teladan semasa SD. Pernah ngikutin pendidikan PMR yang diadain di wilayah Jakarta Timur (yang jadi peserta bukan sekolah kita aja) dan pernah ikut lomba PMR antar SMP (di Cibubur tuh…). Pernah beberapa kali ikut lomba pengibaran bendera antar SLTA se-DKI. Walopun tau pasti nggak akan bisa jadi Paskibraka -karena berkaca mata dan tidak mencukupi tinggi badannya-, tapi pernah nyicipin jadi pasukan pengibar bendera di Gedung Joang ’45 Menteng (dimana peserta upacaranya adalah mbah-mbah veteran pejuang kemerdekaan) dan ikutan 17-an di Balai Kota bareng Gubernur DKI Jakarta. Bunda juga pernah ikutan cerdas cermat RRI ngewakilin SMA Bunda. Oh ya, di angkatan Bunda, SMA Bunda yang jadi juara Cerdas Cermat di TVRI lho! Bayangin Juara 1 bo! Dan ‘musuh’2nya kan SLTA dari seluruh Indonesia (yang ngirim wakilnya untuk berlomba di Cerdas Cermat TVRI). Bapak juga pernah ikut kompetisi Biologi ngewakilin SMA-nya (sayang nggak tembus sampe Olimpiade Biologi ya… ).

Yang jelas, kesempatan-kesempatan macam itu sangat lebar di sekolah negeri. Belom lagi fasilitas dan infrastruktur yang dibiayai dan didistribusikan oleh Pemerintah. Nggak seperti swasta yang menjadikan uang pangkal/uang masuk untuk modal bikin fasilitas sekolah kan?


(5) Karena masuknya udah telat dan cuma kebagian masuk sekolah petang, ternyata di SD yang sekarang, murid kelasnya Mas Ang cuma 30 lebih. Jadi ini mematahkan kekhawatiran soal murid SD negeri yang muridnya kadang bisa lebih dari 44. Kelas Abang juga kurang dari 40 murid. Cukupan kan? Dan ternyata, di SD negeri pagi sekitar rumah, rata2 murid kelasnya lebih dari 44. Malah ada yang 53 (informasi yang di dapat Nenek). Nah, kalo aja waktu itu Bunda punya kesempatan untuk masukin Mas Ang di sekolah negeri (sebelum mutusin masuk SD lama aja), besar kemungkinan Bunda nggak jadi masukin Mas Ang, takut nggak ‘kepegang’ oi…!


Dan yang paling penting bagi Bunda adalah, anak-anak bisa ‘mengikuti’ sekolah negeri, nggak perlu takut kurang asupan ilmu. Bahkan komentar Mas Ang, “Enak Bunda, di sekolah baru pelajarannya sedikit”. See? Mungkin Bunda aja yang paranoid, takut anaknya nggak bisa mandiri di sekolah negeri, takut anaknya nggak siap menghadapi ‘the real world’ dimana murid sekolah negeri pasti lebih beragam daripada sekolah swasta yang nyaris seragam.


Padahal, sebetulnya ini cuma masalah waktu, sekarang atau nanti, Bunda tetap harus melepas anak-anak menghadapi hidup yang berwarna ini. Ini hikmah terbesar bagi Bunda, bahwa akhirnya bunda ‘siap’ melepas anak-anak menghadapi hidup yang sebenarnya, dengan segala kondisi keragamannya, perbedaannya, warnanya, juga tantangannya. Ini perlajaran terbesar bagi Bunda, membiarkan anak-anak tumbuh dan berkembang secara alami di habitatnya, dengan hanya mengawasi dari jauh, bukan dengan mengatur dan men-skenariokan apa2 yang harus mereka jalani, sama seperti Opa dan Oma membesarkan Bunda selama ini. Memberikan kepercayaan, bahwa Bunda, Pakde Acho dan Om Endi bebas memilih dan menentukan apa yang ingin dilakukan. Selama ini Bunda mungkin lalai, bahwa anak-anak selalu punya keistimewaan menyesuaikan diri kepada lingkungan dengan cara mereka sendiri, cara-cara yang unik, cara-cara yang bahkan tidak kita bayangkan. Apalagi dengan kemampuan yang selama ini sudah ditunjukkan Abang dan Mas Ang, bahwa mereka bukan anak-anak yang sulit bergaul dan beradaptasi, mudah berkomunikasi dan diarahkan, dan mudah mencerna pelajaran. Dengan hasil psikotest Abang yang 130, dan Mas Ang 124, mereka tergolong superior dan cerdas. Seperti kata salah seorang wali murid di SD lama, harusnya Bunda nggak perlu khawatir dengan kemampuan akademik mereka. Tidak perlu bersekolah di swasta, mereka pasti mampu kok….. mereka kan bukan anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus (Makasih Mama Titan, udah ngebangunin bunda dari ‘paranoid’ yang nggak perlu ini……)


Dan pelajaran moral dari peristiwa pindahnya anak-anak adalah, mengingatkan dan menyadarkan lagi, bahwa Allah Maha Kuasa dan Penolong yang tiada tanding. Walopun Bunda dan Bapak pontang-panting cari sekolahan, yang diatas kertas nggak bisa dilakukan, dan secara administrasi paling cepat baru bisa dilakukan di semester 2 (karena di semua sekolah pendaftaran dan penerimaan murid baru udah ditutup, iya DITUTUP). Bahkan di SD Negeri, daftar murid baru kelas 1 sudah dikirim ke instansi terkait per 1 Agustus, Alhamdulillah, semua bisa solved hanya dalam 1 hari. Yap, in one day!


La haula quwwata illa billah.


Dan yang kedua, hanya Allah yang mengatur dan menentukan hidup kita. Bukan diri kita sendiri, apalagi orang lain. Hanya dalam hitungan hari, semua bisa berubah. Tak ada logika atau perhitungan yang bisa mengungguli atau ‘membaca’ apa yang akan terjadi dengan kita nanti. Tidak ada.


Tak ada yang menyangka, bahkan Bunda sendiri, bahwa hanya dalam 1 hari, Bunda telah ‘dipaksa’ untuk menutup sebuah bab kehidupan, dan melangkah ke bab berikutnya. Tanpa rencana, tanpa persiapan.


Terima kasih ya Allah, dengan cara-Mu, Kau beri jawaban atas segala kebimbangan dan keraguan. Dengan cara-Mu, Kau sadarkan aku bahwa anak-anak dan setiap nyawa yang hidup adalah milikMu, adalah hak-Mu. Seberapa keras kami berusaha, seberapa matang kami berencana, semua tetap kembali kepada ketentuan-Mu. Seberapa besar cinta kami kepada anak-anak kami, seberapa kuat kami melindungi anak-anak kami dengan semua kemampuan ‘yang kami pikir’ kami punya, adalah tak lebih besar dari sebutir debu dibanding cintaMu kepada mereka, dibanding kemampuanMu menjaga mereka dalam menghadapi hidup. Semua ada dalam genggaman-Mu, ya Allah.


Hanya dengan belas kasih-Mu, hanya dengan kemurahan-Mu, hanya dengan kasih sayang-Mu, kami bisa menapaki hidup ini.


Jaga kami ya Allah, agar tak jauh dari-Mu. Lindungi kami ya Robb, dari jeratan dan jebakan duniawi yang tak pernah lelah mengikuti hamba-hamba-Mu.


Beri kami kesabaran ya Allah, agar senantiasa tegar dalam menghadapi hidup, sesulit apapun.


Ya Allah, jadikan kami orang-orang yang bersyukur, agar tidak sombong dan sentiasa ingat akan diriMu, dan segala keterbatasan kami sebagai hamba dan makhlukMu.


Engkaulah sebaik-baik penjaga, atas diri kami, anak-anak kami, ibu-bapak kami, saudara-saudara kami… Tidak ada kekuatan dan kebesaran selain milikMu, tidak ada kekayaan dan kekuasaan melainkan milikMu, dan tiada kemampuan kami untuk melakukan apapun, tanpa ridhoMu.


Jadikan anak-anak kami sebagai anak yang sholeh, ya Allah. Anak-anak yang takwa menjalankan dan menjaga agamaMu. Anak-anak yang berguna bagi sesama, yang mampu membuktikan bahwa jalanMu adalah rahmatan lil ‘alamin. Dan masukkanlah mereka ke dalam orang-orang yang beruntung di hari akhir kelak.


Amin ya Robbal ‘alamin.

Label:

posted by si kepik bingkie at 21.24